Kehamilan adalah suatu fenomena fisiologis yang dimulai dengan
pembuahan dan diakhiri dengan proses persalinan. Lamanya hamil normal adalah
280 hari (40 minggu atau 9 bulan 7 hari) dihitung dari hari pertama haid
terakhir. Tiga periode berdasarkan lamanya kehamilan:
a. Kehamilan trimester I : 0–14
minggu
b. Kehamilan trimester II : 14–28
minggu
c. Kehamilan trimester III : 28–42
minggu
Dalam 3 trimester tersebut akan terjadi
perubahan-perubahan dalam tubuh ibu. Perubahan akan muncul pada minggu ke-5
sampai ke-6 masa kehamilan, karena hormon-hormon kehamilan dalam tubuh mulai
aktif bekerja.
Penggunaan obat pada
wanita hamil memerlukan pertimbangan lebih khusus karena risiko tidak hanya
pada ibu saja, tetapi juga pada janin yang dikandungnya. Risiko yang paling
dikuatirkan adalah timbulnya kecacatan pada janin atau bayi yang lahir
nantinya, baik berupa cacat fisik maupun cacat fungsional. Hal yang perlu
dipertimbangkan adalah apakah manfaat dari penggunaan obat lebih besar dari
pada risikonya, sehingga ibu dapat melahirkan bayi yang sehat dengan selamat.
Sebagian besar obat yang digunakan oleh
wanita hamil dapat menembus plasenta, sehingga embrio dan janin dalam masa
perkembangan terpapar terhadap efek farmakologis dan teratogenik agen tersebut.
Faktor-faktor kritis yang mempengaruhi transfer obat menembus plasenta dan efek
obat terhadap janin termasuk hal-hal sebagai berikut:
(1) sifat fisikokimiawi;
(2) kecepatan menembus plasenta dan jumlah
yang mencapai janin;
(3) durasi paparan;
(4) sifat distribusi pada jaringan janin
yang berbeda;
(5) tahap perkembangan janin dan plasenta
pada saat pemaparan;
(6) efek obat yang digunakan secara
kombinasi
Tidak ada obat yang
secara mutlak dianggap aman untuk digunakan pada masa kehamilan. Efek
teratogenik tidak hanya dalam bentuk kecacatan fisik saja (malformasi), tetapi
juga pertumbuhan yang terganggu, karsinogenesis, gangguan fungsional atau
mutagenesis. Kecacatan janin akibat obat diperkirakan sekitar 3% dari
seluruh kelahiran cacat. Risiko paling tinggi untuk menimbulkan efek
teratogenikadalah penggunaan obat pada trimester pertama, lebih tepatnya minggu
ke-3 sampai dengan ke-8 dimana sebagian besar organ utama dibentuk.
Setelah minggu ke-8 jarang terjadi anomali struktur karena organ utama sudah
terbentuk pada fase ini. Pada trimester II dan III, efek teratogenik lebih
kepada kecacatan fungsional, contohnya penggunaan obat ACE inhibitor pada
trimester II dan III, akan menyebabkan hipotensi pada janin. Obat yang
diberikan kepada wanita hamil umumnya dapat melalui plasenta. Transfer obat
melalui membran plasenta terjadi secara difusi pasif. Faktor – faktor yang
mempengaruhi proses transfer ini adalah : konsentrasi dalam darah ibu, aliran
darah plasenta, sifat fisikokimia obat (berat molekul rendah, obat yanglarut
dalam lemak, non-polar, dan tidak terionisasi akan lebih mudah melewati membran
plasenta), hanya obat yang berada dalam bentuk bebasdari ikatan protein yang
dapat melewati membran plasenta,
KATEGORI
OBAT PADA IBU HAMIL MENURUT FDA
-
Kategori A: Adalah obat-obat yang telah banyak digunakan oleh wanita hamil
tanpa disertai kenaikan frekuensi malformasi janin atau pengaruh buruk lannya
(ex: parasetamol, penisilin, eritromisin, glikosida jantung, isoniazid serta
bahan-bahan hemopoetik seperti besi dan asam folat.)
-
Kategori B: Meliputi obat-obat yang pengalaman pemakainya pada wanita hamil
masih terbatas, tetapi tidak terbukti meningkatkan frekuensi malformasi atau
pengaruh buruk lainnya pada janin.
B1
: Dari penelitian pada hewan tidak terbukti meningkatnya kejadian kerusakan
janin (fetal damage). Contoh simetidin, dipiridamol, dan spektinomisin.
B2
: Data dari penilitian pada hewan belum memadai, tetapi ada petunjuk tidak
meningkatnya kejadian kerusakan janin. Contoh ikarsilin, amfoterisin, dopamin,
asetilkistein, dan alkaloid belladonna.
B3
: Penelitian pada hewan menunjukkan peningkatan kejadian kerusakan janin,
tetapi belum tentu bermakna pada manusia. Contoh adalah karbamazepin,
pirimetamin, griseofulvin, trimetoprim, dan mebendazol.
-
Kategori C: Merupakan obat-obat yang dapat memberi pengaruh buruk pada janin
tanpa disertai malformasi anatomik semata-mata karena efek farmakologiknya.
Umumnya bersifat reversibel (membaik kembali). Contoh analgetik-narkotik,
fenotiazin, rifampisin, aspirin, antiinflamasi non-steroid dan diuretika.
-
Kategori D Obat-obat yang terbukti menyebabkan meningkatnya kejadian malformasi
janin pada manusia atau menyebabkan kerusakan janin yang bersifat ireversibel
(tidak dapat membaik kembali). Obat-obat dalam kategori ini jugamempunyai efek
farmakologik yang merugikan terhadap janin. Misalnya: androgen, fenitoin,
pirimidon, fenobarbiton, kinin, klonazepam, valproat, steroid anabolik, dan
antikoagulansia.
-
Kategori X Obat-obat yang masuk dalam kategori ini adalah yang telah terbukti
mempunyai risiko tinggi terjadinya pengaruh buruk yang menetap (irreversibel)
pada janin jika diminum pada masa kehamilan. Obat dalam kategori ini merupakan
kontraindikasi mutlak selama kehamilan. Sebagai contoh adalah isotretionin dan
dietilstilbestrol.
Beberapa
hal yang perlu diperhatikan tentang pemberian obat selama kehamilan antara lain
(MIMS, 1998):
1.
Tidak ada obat yang dianggap 100% aman bagi perkembangan janin.
2.
Obat diberikan jika manfaatnya lebih besar daripada resikonya baik bagi ibu
maupun janin. Jika mungkin, semua obat dihindari pada tiga bulan pertama
kehamilan (trimester I), karena saat ini organ tubuh janin dalam masa
pembentukan.
3.
Metabolisme obat pada saat hamil lebih lambat daripada saat tidak hamil,
sehingga obat lebih lama berada dalam tubuh.
4. Pengalaman penggunaan obat
terhadap wanita hamil sangat terbatas, karena uji klinis obat saat hendak
dipasarkan tidak boleh dilakukan pada wanita hamil