farma

farma
farma

Sabtu, 19 Maret 2016

TINGKAT KEAMANAN PENGGUNAAN OBAT PADA WANITA HAMIL


Kehamilan adalah suatu fenomena fisiologis yang dimulai dengan pembuahan dan diakhiri dengan proses persalinan. Lamanya hamil normal adalah 280 hari (40 minggu atau 9 bulan 7 hari) dihitung dari hari pertama haid terakhir. Tiga periode berdasarkan lamanya kehamilan: 
a. Kehamilan trimester I : 0–14 minggu 
b. Kehamilan trimester II : 14–28 minggu 
c. Kehamilan trimester III : 28–42 minggu 
Dalam 3 trimester tersebut akan terjadi perubahan-perubahan dalam tubuh ibu. Perubahan akan muncul pada minggu ke-5 sampai ke-6 masa kehamilan, karena hormon-hormon kehamilan dalam tubuh mulai aktif bekerja.
Penggunaan obat pada wanita hamil memerlukan pertimbangan lebih khusus karena risiko tidak hanya pada ibu saja, tetapi juga pada janin yang dikandungnya. Risiko yang paling dikuatirkan adalah timbulnya kecacatan pada janin atau bayi yang lahir nantinya, baik berupa cacat fisik maupun cacat fungsional. Hal yang perlu dipertimbangkan adalah apakah manfaat dari penggunaan obat lebih besar dari pada risikonya, sehingga ibu dapat melahirkan bayi yang sehat dengan selamat.
Sebagian besar obat yang digunakan oleh wanita hamil dapat menembus plasenta, sehingga embrio dan janin dalam masa perkembangan terpapar terhadap efek farmakologis dan teratogenik agen tersebut. Faktor-faktor kritis yang mempengaruhi transfer obat menembus plasenta dan efek obat terhadap janin termasuk hal-hal sebagai berikut: 
(1) sifat fisikokimiawi; 
(2) kecepatan menembus plasenta dan jumlah yang mencapai janin; 
(3) durasi paparan; 
(4) sifat distribusi pada jaringan janin yang berbeda; 
(5) tahap perkembangan janin dan plasenta pada saat pemaparan; 
(6) efek obat yang digunakan secara kombinasi 


Tidak ada obat yang secara mutlak dianggap aman untuk digunakan pada masa kehamilan. Efek teratogenik tidak hanya dalam bentuk kecacatan fisik saja (malformasi), tetapi juga pertumbuhan yang terganggu, karsinogenesis, gangguan fungsional atau mutagenesis. Kecacatan janin akibat obat  diperkirakan sekitar 3% dari seluruh kelahiran cacat. Risiko paling tinggi untuk menimbulkan efek teratogenikadalah penggunaan obat pada trimester pertama, lebih tepatnya minggu ke-3 sampai dengan ke-8  dimana sebagian besar organ utama dibentuk. Setelah minggu ke-8 jarang terjadi anomali struktur karena organ utama sudah terbentuk pada fase ini. Pada trimester II dan III, efek teratogenik lebih kepada kecacatan fungsional, contohnya penggunaan obat ACE inhibitor pada trimester II dan III, akan menyebabkan hipotensi pada janin. Obat yang diberikan kepada wanita hamil umumnya dapat melalui plasenta. Transfer obat melalui membran plasenta terjadi secara difusi pasif. Faktor – faktor yang mempengaruhi proses transfer ini adalah : konsentrasi dalam darah ibu, aliran darah plasenta, sifat fisikokimia obat (berat molekul rendah, obat yanglarut dalam lemak, non-polar, dan tidak terionisasi akan lebih mudah melewati membran plasenta), hanya obat yang berada dalam bentuk bebasdari ikatan protein yang dapat melewati membran plasenta,

KATEGORI OBAT PADA IBU HAMIL MENURUT FDA
- Kategori A: Adalah obat-obat yang telah banyak digunakan oleh wanita hamil tanpa disertai kenaikan frekuensi malformasi janin atau pengaruh buruk lannya (ex: parasetamol, penisilin, eritromisin, glikosida jantung, isoniazid serta bahan-bahan hemopoetik seperti besi dan asam folat.)

- Kategori B: Meliputi obat-obat yang pengalaman pemakainya pada wanita hamil masih terbatas, tetapi tidak terbukti meningkatkan frekuensi malformasi atau pengaruh buruk lainnya pada janin.
B1 : Dari penelitian pada hewan tidak terbukti meningkatnya kejadian kerusakan janin (fetal damage). Contoh simetidin, dipiridamol, dan spektinomisin.
B2 : Data dari penilitian pada hewan belum memadai, tetapi ada petunjuk tidak meningkatnya kejadian kerusakan janin. Contoh ikarsilin, amfoterisin, dopamin, asetilkistein, dan alkaloid belladonna.
B3 : Penelitian pada hewan menunjukkan peningkatan kejadian kerusakan janin, tetapi belum tentu bermakna pada manusia. Contoh adalah karbamazepin, pirimetamin, griseofulvin, trimetoprim, dan mebendazol.

- Kategori C: Merupakan obat-obat yang dapat memberi pengaruh buruk pada janin tanpa disertai malformasi anatomik semata-mata karena efek farmakologiknya. Umumnya bersifat reversibel (membaik kembali). Contoh analgetik-narkotik, fenotiazin, rifampisin, aspirin, antiinflamasi non-steroid dan diuretika.

- Kategori D Obat-obat yang terbukti menyebabkan meningkatnya kejadian malformasi janin pada manusia atau menyebabkan kerusakan janin yang bersifat ireversibel (tidak dapat membaik kembali). Obat-obat dalam kategori ini jugamempunyai efek farmakologik yang merugikan terhadap janin. Misalnya: androgen, fenitoin, pirimidon, fenobarbiton, kinin, klonazepam, valproat, steroid anabolik, dan antikoagulansia.

- Kategori X Obat-obat yang masuk dalam kategori ini adalah yang telah terbukti mempunyai risiko tinggi terjadinya pengaruh buruk yang menetap (irreversibel) pada janin jika diminum pada masa kehamilan. Obat dalam kategori ini merupakan kontraindikasi mutlak selama kehamilan. Sebagai contoh adalah isotretionin dan dietilstilbestrol.



Beberapa hal yang perlu diperhatikan tentang pemberian obat selama kehamilan antara lain (MIMS, 1998):
1. Tidak ada obat yang dianggap 100% aman bagi perkembangan janin.
2. Obat diberikan jika manfaatnya lebih besar daripada resikonya baik bagi ibu maupun janin. Jika mungkin, semua obat dihindari pada tiga bulan pertama kehamilan (trimester I), karena saat ini organ tubuh janin dalam masa pembentukan.
3. Metabolisme obat pada saat hamil lebih lambat daripada saat tidak hamil, sehingga obat lebih lama berada dalam tubuh.
4. Pengalaman penggunaan obat terhadap wanita hamil sangat terbatas, karena uji klinis obat saat hendak dipasarkan tidak boleh dilakukan pada wanita hamil