farma

farma
farma

Minggu, 12 Februari 2012

PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN PHARMACEUTICAL CARE

Profesi apoteker di awal abad ke-20 berperan sebagai pembuat dan peracik obat. Namun kemudian secara bertahap peran ini diambil alih oleh industri farmasi, sehingga pada pertengahan tahun 1960-an muncul suatu praktik baru yang disebut farmasi klinik. Kata “klinik”menunjukkan adanya keterlibatan kepentingan pasien (patient oriented), sehingga seorang apoteker dikatakan menjalankan praktik farmasi klinik jika ia dalam memberikan pelayanan farmasi mengambil tanggung jawab dalam upaya tercapainya hasil terapi yang optimal bagi pasien yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas hidup pasien. Konsep ini kemudian pada tahun 1990-an dikenal dengan istilah Pharmaceutical Care. Implementasi Pharmaceutical Care tidak hanya berlaku untuk apoteker yang bekerja di rumah sakit saja tetapi juga bagi apoteker yang bekerja di tempat lain, seperti: apotek, industri farmasi dan institusi lain. Dalam konteks farmasi rumah sakit, pharmaceutical care ditandai dengan kepedulian akan keamanan dan efektifitas obat yang diberikan kepada pasien serta biaya pengobatan yang ekonomis melalui keterlibatan apoteker secara langsung dalam perawatan pasien dari hari ke hari bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain di rumah sakit. Sedangkan di farmasi komunitas, pharmaceutical care diterapkan melalui interaksi langsung apoteker dengan pasien dan keluarga saat mereka berkunjung ke apotek untuk mendapatkan obat.
PHARMACEUTICAL CARE
Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa tujuan akhir dari Pharmaceutical Care adalah meningkatkan kualitas hidup pasien melalui pencapaian hasil terapi yang diinginkan secara optimal. Hasil terapi yang diinginkan dapat berupa :
- sembuh dari penyakit
- hilangnya gejala penyakit
- diperlambatnya proses penyakit
- pencegahan terhadap suatu penyakit.
Pasien yang mendapatkan obat mempunyai risiko untuk mengalami kejadian yang tidak diinginkan baik yang potensial maupun secara nyata dapat mempengaruhi hasil terapi yang diinginkan, oleh sebab itu peran utama apoteker dalam Pharmaceutical Care adalah :
  1. Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat (DRP =
Drug Related Problem) baik yang potensial maupun nyata.
2. Mengatasi DRP yang nyata
3. Mencegah DRP yang potensial
Adapun masalah-masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat dapat digolongkan sebagai berikut:1
1. Indikasi
Pasien mempunyai gangguan kesehatan yang memerlukan obat, tetapi pasien tidak mendapatkan obat untuk indikasi tersebut.
2. Pemilihan obat tidak tepat
3. Dosis terlalu rendah
4. Dosis terlalu tinggi
5. Pasien tidak mendapatkan obat karena suatu sebab (psikososial, ekonomi, human error)
6. Efek samping obat
7. Interaksi obat-obat , obat-makanan atau obat-uji laboratorium
8. Obat belum terbukti secara ilmiah efektif
PENERAPAN PHARMACEUTICAL CARE

Dalam praktik sehari-hari, ada banyak cara untuk mengimplementasikan Pharmaceutical Care, yaitu melalui bentuk pelayanan farmasi klinik yang secara garis besar dapat dikelompokkan sebagai berikut:
A. Pelayanan farmasi klinik yang bersifat umum :
- Pengambilan sejarah pengobatan pasien (Medication History-taking)
- Konsultasi penggunaan obat yang rasional bagi tenaga kesehatan lain maupun pasien
- Pemantauan penggunaan obat
- Partisipasi aktif dalam program monitoring efek samping obat, KFT, infeksi nosokomial, dan lain-lain.
B. Pelayanan farmasi klinik yang bersifat khusus :
- Informasi Obat
- Konseling
- Nutrisi Parenteral Total (TPN = Total Parenteral Nutrition)
- Pencampuran obat suntik (IV admixture)
- Penanganan obat sitotoksik
- Pemantauan kadar obat dalam darah (TDM =Therapeutic Drug Monitoring)
C. Pelayanan farmasi klinik yang bersifat spesialistik farmakoterapi :
Penyakit Dalam, Bedah, Pediatri, Geriatri, Kardiovaskuler, dan lain-lain.
Berikut ini diuraikan satu contoh penerapan pharmaceutical care yang dilakukan untuk pasien usia lanjut:

Memberikan pelayanan farmasi untuk pasien usia lanjut merupakan tantangan tersendiri. Pasien usia lanjut memiliki karakteristik yang berbeda dengan pasien usia dewasa yang lebih muda. Umumnya pasien usia lanjut mempunyai banyak masalah kesehatan yang bersifat kronik dan mendapat banyak jenis obat. Survei yang pernah dilakukan di Klinik Geriatri RS Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 2004 menunjukkan bahwa rata-rata pasien usia lanjut menderita 4 macam penyakit dan mendapatkan 6 jenis obat. Penggunaan obat pada pasien usia lanjut memerlukan perhatian khusus karena adanya perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik obat terkait proses penuaan. Risiko terjadinya reaksi yang tidak diharapkan (adverse drug reactions) dan interaksi obat juga akan meningkat seiring bertambahnya jumlah obat yang dikonsumsi. Banyaknya jenis obat dan rumitnya rejimen pengobatan membuat pasien usia lanjut, yang kemampuan kognitif dan fisiknya sudah mengalami penurunan, menjadi tidak patuh terhadap rejimen pengobatan yang telah ditetapkan. Selain itu, kondisi psikososial pasien usia lanjut sangat potensial untuk memperburuk status kesehatannya.
Pharmaceutical care untuk pasien usia lanjut pada dasarnya sama dengan yang untuk pasien golongan usia lain. Namun demikian, pengetahuan farmakoterapi pada pasien usia lanjut dan keterampilan berkomunikasi efektif dengan pasien dan keluarganya perlu dikuasai dengan baik oleh apoteker yang akan memberikan pelayanan untuk pasien usia lanjut. Adapun kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan meliputi:2,3
  • Telaah rejimen obat (medication review)
  • Penyiapan obat (dispensing)
  • Pemberian informasi dan edukasi
  • Pemantauan penggunaan obat

Telaah rejimen obat (medication review)
Telaah rejimen obat dimaksudkan untuk memastikan bahwa rejimen obat diberikan sesuai dengan indikasi kliniknya, efek obat yang merugikan dapat dicegah/diminimalkan dan kepatuhan pasien dapat dievaluasi.
Pada situasi dimana waktu apoteker terbatas untuk melakukan telaah rejimen obat pada semua pasien, maka kriteria pasien yang mendapat prioritas adalah: pasien dengan >5 obat, rejimen obat kompleks, obat dengan indeks terapi sempit, pasien mengalami efek samping obat yang serius, menderita >3 penyakit, mengalami gangguan kognitif, tidak mempunyai care-giver, tidak patuh, akan pulang dari perawatan di rumah sakit dan berobat pada banyak dokter.
Kegiatan yang pertama kali dilakukan dalam telaah rejimen obat adalah melakukan pengambilan riwayat penggunaan obat pasien. Dari kegiatan ini dapat diketahui obat-obat (obat resep, obat bebas, obat tradisional/jamu, suplemen) yang pernah dan sedang digunakan pasien sebelum dirawat di rumah sakit, kemungkinan adanya interaksi obat, bagaimana tingkat kepatuhan pasien, efek terapi yang dihasilkan dan efek samping obat yang dialami pasien. Seringkali pasien/keluarganya tidak mengetahui atau lupa nama obat yang pernah dan sedang digunakannya, sehingga ada baiknya meminta mereka untuk membawa serta obat-obat yang masih tersisa dan memperlihatkannya kepada kita. Kesulitan lain adalah pada saat pasien ditanya tentang efek yang dirasakan selama menggunakan obat, dimana kadang pasien tidak dapat mengungkapkan dengan jelas apa yang dirasakannya. Pasien/keluarga perlu dipandu dalam mengidentifikasi kemungkinan adanya efek samping obat, contoh: pada pasien yang mendapatkan kodein untuk menghilangkan nyeri, perlu ditanyakan apakah beliau mengalami kesulitan untuk buang air besar. Informasi yang didapat dari mereka harus dicek silang dengan data/informasi dari sumber lain (rekam medik, catatan pemberian obat, keterangan dokter dan perawat).
Obat-obat yang seharusnya tidak digunakan lagi oleh pasien -misalnya karena sudah dihentikan oleh dokter, adanya duplikasi atau obat sudah kadaluarsa- harus dipisahkan dan pasien/keluarga diberitahu mengenai hal ini. Jika teridentifikasi adanya ketidakpatuhan dalam menggunakan obat, maka apoteker perlu mencaritahu apa penyebab ketidakpatuhannya, apakah karena masalah ekonomi, ketidakyakinan akan khasiat obat, lupa, bosan, gejala penyakit sudah hilang, adanya efek samping, takut ketergantungan, rasa obat yang tidak enak, adanya keterbatasan kemampuan fisik, gangguan kesehatan jiwa, atau kurangnya pemahaman tentang penyakit dan obat yang digunakannya. Sebaiknya dokter maupun apoteker melibatkan pasien/keluarga dalam proses pengambilan keputusan tentang terapi yang akan dijalankan setelah mereka diberi informasi yang benar dan sejelas-jelasnya. Dengan demikian, diharapkan pasien/keluarga akan lebih bertanggungawab atas keputusan yang telah disepakati dan mematuhi rejimen pengobatan.
Pada saat melakukan telaah terhadap obat-obat yang baru diresepkan dokter, apoteker perlu meneliti apakah ada masalah terkait obat, misalnya: indikasi obat tidak jelas atau sebaliknya -kondisi medis pasien memerlukan terapi obat tetapi pasien tidak diberikan obat, pilihan obat tidak tepat, rejimen tidak tepat (rute, dosis, interval pemberian, durasi) dan interaksi obat. Fenomena prescribing cascade sering terjadi dimana pasien diberikan suatu obat untuk mengatasi efek merugikan dari obat lain. Banyaknya gejala klinik yang ditunjukkan pasien usia lanjut sering menyulitkan dokter untuk menentukan prioritas terapi yang tepat. Untuk itu perlu dibuat kerangka masalah yang menggambarkan keterkaitan antar gejala atau kondisi klinik, sehingga dapat terlihat mana yang menjadi akar permasalahannya, dengan demikian penanganan terapi menjadi terarah. Jika masalah utama dapat diatasi, maka diharapkan gejala-gejala lain yang merupakan akibat dari masalah utama tersebut dengan sendirinya juga akan teratasi, sehingga tidak perlu polifarmasi. Apoteker hendaknya mendiskusikan temuan masalah dengan dokter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar